Sabtu, 15 Desember 2007
JITET KOESTANA
Kartunis ini adalah orang Indonesia peraih penghargaan internasional terbanyak. Masuk rekor MURI, bung!
Jika akhir-akhir ini Anda memperhatikan halaman KOMPAS, akan terasa ada sesuatu yang baru yaitu kartun dan ilustrasi yang lebih segar yang dibuat oleh Jitet Koestana. Setahu saya, Jitet memang baru di KOMPAS. Sebelum pindah ke KOMPAS, Mas Jitet adalah ilustrator di Tabloid SENIOR, anak usaha Kelompok KOMPAS Gramedia juga seperti halnya KOMPAS.
Saya suka sekali dengan gaya Mas Jitet ini dalam menggambar. Karakter ciptaannya sungguh bagus. Lihatlah SENORI, tokoh rekaannya yang terbit di Tabloid SENIOR. Si SENORI ini tampil seperti layaknya manusia biasa, natural. Komposisi ukuran bagian tubuh SENORI ini juga sama dengan manusia sesungguhnya. Ini berbeda dengan karakter rekaan kartunis lain yang kadang melebih-lebihkan ukuran tubuh manusia, ada yang kepalanya sangat besar, perutnya super buncit atau mulutnya super panjang. Mas Jitet memang beda. Ini yang membuat ilustrasi Mas Jitet enak dipandang. Belum lagi kalau ilutrasi itu dibuat berwarna. Sapuan warnanya juga mantap.
Memang, Jitet bukan orang baru di dunia kartun Indonesia. Puluhan kali dia menerima penghargaan internasional. Menurut Suara Merdeka, nama lelaki kelahiran 4 Januari 1967 tersebut pada 1998 tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai peraih penghargaan internasional terbanyak, yakni 36 buah. Saat ini angka itu telah bertambah menjadi 46 (atau sudah bertambah lagi, mungkin?). Beberapa penghargaan yang prestisius antara lain Grand Prize Seoul International Cartoon Festival" (1997), "Cordoba International Cartoon Festival (2000), dan yang terbaru Grand Prize "Syria International Cartoon Contest" (April 2005).
Ada yang sama antara Mas Jitet dengan kartunis-kartunis lain seperti A Loekis Haryadi (Seputar Semarang), Leak Koestiya (Jawa Pos), Hanung Kuncoro (TabloidBola), Prie GS (Suara Merdeka), Ramli (Bintang Milenia), dan Erianto Sulistyawan? M
Jika akhir-akhir ini Anda memperhatikan halaman KOMPAS, akan terasa ada sesuatu yang baru yaitu kartun dan ilustrasi yang lebih segar yang dibuat oleh Jitet Koestana. Setahu saya, Jitet memang baru di KOMPAS. Sebelum pindah ke KOMPAS, Mas Jitet adalah ilustrator di Tabloid SENIOR, anak usaha Kelompok KOMPAS Gramedia juga seperti halnya KOMPAS.
Saya suka sekali dengan gaya Mas Jitet ini dalam menggambar. Karakter ciptaannya sungguh bagus. Lihatlah SENORI, tokoh rekaannya yang terbit di Tabloid SENIOR. Si SENORI ini tampil seperti layaknya manusia biasa, natural. Komposisi ukuran bagian tubuh SENORI ini juga sama dengan manusia sesungguhnya. Ini berbeda dengan karakter rekaan kartunis lain yang kadang melebih-lebihkan ukuran tubuh manusia, ada yang kepalanya sangat besar, perutnya super buncit atau mulutnya super panjang. Mas Jitet memang beda. Ini yang membuat ilustrasi Mas Jitet enak dipandang. Belum lagi kalau ilutrasi itu dibuat berwarna. Sapuan warnanya juga mantap.
Memang, Jitet bukan orang baru di dunia kartun Indonesia. Puluhan kali dia menerima penghargaan internasional. Menurut Suara Merdeka, nama lelaki kelahiran 4 Januari 1967 tersebut pada 1998 tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai peraih penghargaan internasional terbanyak, yakni 36 buah. Saat ini angka itu telah bertambah menjadi 46 (atau sudah bertambah lagi, mungkin?). Beberapa penghargaan yang prestisius antara lain Grand Prize Seoul International Cartoon Festival" (1997), "Cordoba International Cartoon Festival (2000), dan yang terbaru Grand Prize "Syria International Cartoon Contest" (April 2005).
Ada yang sama antara Mas Jitet dengan kartunis-kartunis lain seperti A Loekis Haryadi (Seputar Semarang), Leak Koestiya (Jawa Pos), Hanung Kuncoro (TabloidBola), Prie GS (Suara Merdeka), Ramli (Bintang Milenia), dan Erianto Sulistyawan? M
GM SUDARTA
Surya, Rabu 04 Juli 2007
Jakarta
Pria itu selalu bertopi ala pelukis Tino Sidin, juga pakai jas resmi layaknya pejabat tapi ada tambalan di kedua sikunya. Komentarnya sering jenaka atau pilon tetapi sesungguhnya pedas. Sosok dalam kartun itu 'go public' sejak 1967 lewat Harian Umum Kompas. Kini, sosok itu dikumpulkan dalam buku berjudul 40 Tahun Oom Pasikom, Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007.
Oom Pasikom adalah sosok ciptaan GM Sudarta, kartunis Kompas. Berbagai masa pahit sudah dilewati. Nyaris di seluruh hidup Om Pasikom berasa getir. Maklum, tokoh karikatur yang selalu muncul di Kompas sejak 40 tahun lalu ini memang menjadi cermin ajaib bagi seluruh kehidupan sulit di negeri ini.
Seniman Butet Kertaredjasa berbusana seperti Oom Pasikom saat peluncuran buku itu di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (3/7) malam. Pemeran Presiden SBY, Si Butet Yogya dalam acara parodi di televisi itu, tampil monolog. Dia ngoceh sendirian.
Katanya, Sudarta layak jadi presiden karena namanya mirip Soekarno, Soeharto, dan Susilo. Tetapi, kalau pun tidak kesampaian, sekarang Sudarta juga sudah jadi presiden, Presiden Kartun Indonesia. "Sudarta itu juga cah ndeso (anak desa), katrok. Lha wong, cah Klaten," kata Butet.
Hadirin pun tertawa lepas, mulai dari pendiri Kompas Jakoeb Oetama, mantan Mensesneg Murdiono, sampai novelis Yapi Tambayong alias Remy Sylado. Hanya orang-orang seperti Dubes Jerman Paul Freiherr von Maltzahn atau Yoshiharu Kato dari Kedubes Jepang yang tidak ikut tertawa ngakak.
Tetapi kehadiran pejabat dari negeri manca itu cukuplah menggambarkan reputasi Sudarta. Pria kelahiran 20 September 1945 itu tiap dua tahun sekali, sejak 1988, selalu ikut pameran kartun internasional di Jepang. Bahkan, pada 2008 nanti, dia berencana jadi dosen kartun di Universitas Seika, Kyoto. Sudarta di mata Remy Sylado adalah kartunis berani. "Semasa Orde Baru pun, kartun-kartunnya berani," pujinya. Pada buku ini, misalnya, termuat kartun perdana Sudarta yang terbit 4 April 1967, menggambarkan Soeharto menyapu benteng Orde Lama, PKI, sisa Orde Lama dan vested interest.
Hanya dalam tempo tiga bulan kemudian, Sudarta yang memegang penghargaan Adinegoro untuk kategori karikatur dari 1983 sampai 1987, The Best Caricature of Japan 1999, dan anugerah Budaya Adikarsa 2004 dari Dewan Kesenian Klaten ini bikin kartun yang menggambarkan sosok pria besar yang di bagian kepalanya berupa kepalan tangan. Sosok itu diberi label Koruptor, Garong, Penjelundup. Lalu di bawahnya diberi keterangan Ditjari Tindju Jg Lebih Besar. Itu berarti, indikasi korupsi sudah menggejala di awal Soeharto berkuasa.
Pada kartunnya 23 Juli 1970, dikutiplah ucapan Soeharto dalam bahasa Belanda, Van Huis Uit Rijk. Arti harfiahnya, dari dulu sudah kaya. Konteksnya adalah 'pembelaan' Soeharto terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Masa itu memang zaman keemasan bagi kebebasan pers di bawah Orde Baru.
Sekadar perbandingan, kartun-kartun di koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, malah jauh lebih berani. Pada edisi 19 September 1970, kartunis Indonesia Raya, Tabarani, menggambarkan betapa Golkar mencuri start kampanye. Masih banyak lagi contoh keberanian kartun di Indonesia Raya.
Dan, berkat keberaniannya itu pula Indonesia Raya dibredel, sedangkan Kompas sehat walafiat sampai kini. Jadi, seberani-beraninya berita maupun kartun di Kompas, ternyata tak sampai mengguncang amarah penguasa waktu itu. Ini klop dengan kesaksian Moerdiono ketika ditanya soal pernahkah Soeharto mengutarakan ketersinggungannya pada kartun Sudarta.
"Tidak pernah itu. Pak Harto itu saya tahu tiap pagi baca Kompas dan koran-koran lain," kata Moerdiono. Justru bekas pejabat 'dangdut' ini yang pernah merasa tersinggung pada kartun Sudarta. Yakni, ketika tahun 1996, kartun Sudarta menyindir imbauannya agar semua pihak mengencangkan ikat pinggang. Maksudnya hidup irit. Tetapi, Sudarta malah menggambarkan tubuh pria yang bagian perutnya putus, sehingga tidak ada lagi ikat pinggang yang perlu dikencangkan. "Saya ya agak nggak enak itu," akunya.
Peluncuran buku yang dikemas mewah terbitan Gramedia ini diikuti pameran karya GM Sudarta di Bentara Budaya Jakarta mulai 4-12 Juli pukul 10.00-18.00 WIB. Rencananya pameran ini akan digelar di beberapa kota, termasuk Surabaya./Yuli Ahmada
rumpun | budaya, jakarta
Jakarta
Pria itu selalu bertopi ala pelukis Tino Sidin, juga pakai jas resmi layaknya pejabat tapi ada tambalan di kedua sikunya. Komentarnya sering jenaka atau pilon tetapi sesungguhnya pedas. Sosok dalam kartun itu 'go public' sejak 1967 lewat Harian Umum Kompas. Kini, sosok itu dikumpulkan dalam buku berjudul 40 Tahun Oom Pasikom, Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007.
Oom Pasikom adalah sosok ciptaan GM Sudarta, kartunis Kompas. Berbagai masa pahit sudah dilewati. Nyaris di seluruh hidup Om Pasikom berasa getir. Maklum, tokoh karikatur yang selalu muncul di Kompas sejak 40 tahun lalu ini memang menjadi cermin ajaib bagi seluruh kehidupan sulit di negeri ini.
Seniman Butet Kertaredjasa berbusana seperti Oom Pasikom saat peluncuran buku itu di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (3/7) malam. Pemeran Presiden SBY, Si Butet Yogya dalam acara parodi di televisi itu, tampil monolog. Dia ngoceh sendirian.
Katanya, Sudarta layak jadi presiden karena namanya mirip Soekarno, Soeharto, dan Susilo. Tetapi, kalau pun tidak kesampaian, sekarang Sudarta juga sudah jadi presiden, Presiden Kartun Indonesia. "Sudarta itu juga cah ndeso (anak desa), katrok. Lha wong, cah Klaten," kata Butet.
Hadirin pun tertawa lepas, mulai dari pendiri Kompas Jakoeb Oetama, mantan Mensesneg Murdiono, sampai novelis Yapi Tambayong alias Remy Sylado. Hanya orang-orang seperti Dubes Jerman Paul Freiherr von Maltzahn atau Yoshiharu Kato dari Kedubes Jepang yang tidak ikut tertawa ngakak.
Tetapi kehadiran pejabat dari negeri manca itu cukuplah menggambarkan reputasi Sudarta. Pria kelahiran 20 September 1945 itu tiap dua tahun sekali, sejak 1988, selalu ikut pameran kartun internasional di Jepang. Bahkan, pada 2008 nanti, dia berencana jadi dosen kartun di Universitas Seika, Kyoto. Sudarta di mata Remy Sylado adalah kartunis berani. "Semasa Orde Baru pun, kartun-kartunnya berani," pujinya. Pada buku ini, misalnya, termuat kartun perdana Sudarta yang terbit 4 April 1967, menggambarkan Soeharto menyapu benteng Orde Lama, PKI, sisa Orde Lama dan vested interest.
Hanya dalam tempo tiga bulan kemudian, Sudarta yang memegang penghargaan Adinegoro untuk kategori karikatur dari 1983 sampai 1987, The Best Caricature of Japan 1999, dan anugerah Budaya Adikarsa 2004 dari Dewan Kesenian Klaten ini bikin kartun yang menggambarkan sosok pria besar yang di bagian kepalanya berupa kepalan tangan. Sosok itu diberi label Koruptor, Garong, Penjelundup. Lalu di bawahnya diberi keterangan Ditjari Tindju Jg Lebih Besar. Itu berarti, indikasi korupsi sudah menggejala di awal Soeharto berkuasa.
Pada kartunnya 23 Juli 1970, dikutiplah ucapan Soeharto dalam bahasa Belanda, Van Huis Uit Rijk. Arti harfiahnya, dari dulu sudah kaya. Konteksnya adalah 'pembelaan' Soeharto terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Masa itu memang zaman keemasan bagi kebebasan pers di bawah Orde Baru.
Sekadar perbandingan, kartun-kartun di koran Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, malah jauh lebih berani. Pada edisi 19 September 1970, kartunis Indonesia Raya, Tabarani, menggambarkan betapa Golkar mencuri start kampanye. Masih banyak lagi contoh keberanian kartun di Indonesia Raya.
Dan, berkat keberaniannya itu pula Indonesia Raya dibredel, sedangkan Kompas sehat walafiat sampai kini. Jadi, seberani-beraninya berita maupun kartun di Kompas, ternyata tak sampai mengguncang amarah penguasa waktu itu. Ini klop dengan kesaksian Moerdiono ketika ditanya soal pernahkah Soeharto mengutarakan ketersinggungannya pada kartun Sudarta.
"Tidak pernah itu. Pak Harto itu saya tahu tiap pagi baca Kompas dan koran-koran lain," kata Moerdiono. Justru bekas pejabat 'dangdut' ini yang pernah merasa tersinggung pada kartun Sudarta. Yakni, ketika tahun 1996, kartun Sudarta menyindir imbauannya agar semua pihak mengencangkan ikat pinggang. Maksudnya hidup irit. Tetapi, Sudarta malah menggambarkan tubuh pria yang bagian perutnya putus, sehingga tidak ada lagi ikat pinggang yang perlu dikencangkan. "Saya ya agak nggak enak itu," akunya.
Peluncuran buku yang dikemas mewah terbitan Gramedia ini diikuti pameran karya GM Sudarta di Bentara Budaya Jakarta mulai 4-12 Juli pukul 10.00-18.00 WIB. Rencananya pameran ini akan digelar di beberapa kota, termasuk Surabaya./Yuli Ahmada
rumpun | budaya, jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)